Sejak berabad lamanya para pendatang dari India, Timur Tengah, dan Tiongkok telah turut mengisi jalannya sejarah Nusantara. Mereka bermigrasi ke negeri ini dengan latar belakang agama, perdagangan, atau sukarela. Hampir tidak ada kisah penaklukkan. Kendati kecil secara kuantitas namun pengaruh ketiga pendatang itu begitu besar sekali dalam berbagai bidang hingga saat ini.
Pendatang yang disebut terakhir, orang Tiongkok, telah datang, memilih tinggal, dan berbaur di negeri ini hingga budaya mereka mengakar melebur bersama warga lokal. Keserasian hubungan budaya Tiongkok dan pribumi telah menciptakan pengertian yang apik dan koheren. Budaya Tionghoa secara nyata memberikan akulturasi unik memperkaya budaya Indonesia. Keberadaan dan pengaruh orang Tionghoa di Nusantara adalah keniscayaan yang mengalir dengan sendirinya.
Apa yang kita sebut sekarang sebagai orang Tionghoa peranakan adalah mereka yang secara kebudayaan mengalami akulturasi. Keberadaan warga Tionghoa di Nusantara mempunyai keunikan tersendiri dalam interaksinya dengan suku lain di Indonesia. Sebut saja beberapa kota seperti Singkawang, Semarang, Surabaya, Bandung, Padang, Bangka, Pontianak, hingga Ternate, Maluku, dan bahkan di Papua. Di kota-kota tersebut orang Tionghoa berhubungan baik dengan suku setempat. Meleburnya peranakan Tionghoa di negeri ini jelas menjadi bukti adanya daya kohesi budaya yang kuat dalam suasana polietnis.
Warga Tionghoa telah hidup persis seperti anak negeri Indonesia. Semisal di Pecinan Glodok-Pancoran, Jakarta, merekalah yang menjadi motor tumbuh dan berkembangnya Batavia menjadi Jakarta. Mereka berdampingan hidup bersama warga pribumi dan bahkan tidak hanya di Jakarta tetapi di berbagai kota lain di negeri ini mereka bahkan menikah dengan orang pribumi.
Orang Indonesia keturunan persilangan antara masyarakat Tionghoa dan pribumi bisa menjadi jembatan antarbudaya serta simpul rasa saling percaya dalam masyarakat. Demikianlah sebenarnya wujud harmonisasi sosial terbuka lebar antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi sehingga menguatkan identitas Indonesia sebagai bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Perayaan Imlek yang digelar di banyak kota di Tanah Air adalah gambaran bagaimana tradisi berusia ribuan tahun tersebut mendapat tempat dan dihidupi pula oleh warga pribumi. Imlek di berbagai kota nyatanya memang menjadi sebuah peragaaan dan etalase akulturasi budaya Tionghoa dan pribumi.
Tahun Baru Imlek (Sin-Cia) sendiri merupakan awal penanggalan Kalender Imlek warisan agama dan budaya Tionghoa sejak 4700-an tahun yang lalu yang dirintis oleh Fu Xi atau Ho-Hi (2852-2736 SM), seorang tokoh legendaris penegak bangsa Hoa-Xia (Tionghoa). Tahun Baru Imlek tidak terlepas dari aspek spiritual religius para raja suci atau nabi purba agama Ru (Ru-Jiao/Ji-Rauw) dan sudah ada jauh sebelum Nabi Khongcu dilahirkan namun melalui Nabi Khongcu-lah kalender Imlek sekarang mempunyai ketetapan tahun Imlek 2561, dihitung sejak tahun kelahiran Khongcu.
Budaya Imlek sudah memengaruhi Nusantara diperkirakan sejak pedagang dari Tiongkok datang abad ke-4 dan melakukan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Berikutnya mereka mewarnai kehidupan dan kebudayaan di negeri ini hingga sekarang. Adalah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang kembali memberikan tempat bagi etnis Tionghoa untuk merayakan acara keagamaan mereka. Sebelumnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, aktivitas budaya warga keturunan khususnya umat Konfusianitas kurang mendapatkan tempat,padahal di masa Presiden Soekarno diperbolehkan. Kini perayaan Imlek dijadikan sebagai hari libur nasional. Warga yang merayakan biasanya akan mengisi dengan beraneka kegiatan seperti berdoa, perjamuan makan malam, penyulutan kembang api, pemasangan lampion dan gambar para Dewa, hio, dupa, patung naga, barongsai, serta tentunya ucapan “Gong Xi Fat Chai” yang artinya “Semoga kemakmuran menyertai Anda”.