Setidaknya ada lebih dari 20 tahapan selama hampir sebulan agar sebuah kain tenunan Flores dapat memanjakan mata dan diapresiasi peminatnya dengan transaksi jual beli. Proses pembuatan tenun ikat khas Flores diawali dengan memisahkan kapas dari biji, memintal kapas tersebut menjadi benang, proses pewarnaan, mengikat motif, dan terakhir baru mulai menenun. Ada alat khusus yang digunakan untuk memisahkan kapas dari bijinya termasuk untuk menggulung benang yang sudah dipintal.
Dalam mewarnai benang, pengrajin tenun ikat tradisional masih menggunakan pewarna tradisional yang didapatkan dari alam. Misalnya dengan menggunakan beberapa jenis tumbuhan, seperti daun dan akar mengkudu (warna merah), daun nira (warna biru), kayu pohon hepang, kunyit (warna kuning), loba, kulit pohon mangga, kulit pohon cokelat, serbuk kayu mahoni tarum, zopha, kemiri, dan masih banyak lagi. Pewarnaan dapat dilakukan berulang-ulang guna menghasilkan warna yang khas. Setidaknya ada 11 warna tercipta dari bahan alami yang ramah lingkungan. Warna dari bahan alami dan benang dari kapas membuat warnanya memang tidak secerah benang modern tetapi justru lebih tahan lama dan menguak warna yang makin lama makin indah.
Beberapa daerah di Flores merupakan sentra penghasil kain tenun ikat, di antaranya adalah Maumere, Sikka, Ende, Manggarai, Ngada, Nage Keo, Lio, dan Lembata di bagian timur Flores. Setiap daerah atau etnis memiliki ragam motif, corak dan preferensi warna yang berbeda-beda dalam membuat kain tenun ikat. Keragaman tersebut merupakan bentuk pengejawantahan simbol-simbol yang merepresentasikan etnis, adat, religi, dan hal lainnya dari keseharian masyarakat Flores.
Kain tenun khas daerah Sikka misalnya, biasanya selalu menggunakan warna gelap seperti hitam, coklat, biru, dan biru-hitam. Untuk motifnya, terdapat beberapa jenis yang khas, yaitu motif okukirei yang berdasarkan kisah tentang nenek moyang sub-etnis Sikka yang dulunya adalah pelaut ulung. Figur nelayan, sampan, udang, atau kepiting menjadi ciri khas bagi kain jenis motif ini. Terdapat pula jenis motif mawarani yang dihiasi dengan corak bunga mawar. Konon, motif ini merupakan motif khas yang khusus diperuntukkan bagi putri-putri Kerajaan Sikka. Motif ini kini menjadi favorit kaum perempuan.
Sementara itu, tenunan di daerah Ende banyak menggunakan warna cokelat dan merah serta memadukannya dengan ragam hias motif bergaya Eropa. Hal ini karena letak strategis Ende di pesisir selatan Flores yang memungkinkan orang-orang Ende zaman dahulu mudah berhubungan dengan bangsa pendatang, seperti orang Eropa. Ciri khas lain motif kain tenun ikat Ende adalah penggunaan hanya satu jenis motif pada bidang di tengah-tengah kain.
Di kalangan sub-etnis Lio, terdapat motif yang langka yang disebut omembulu telu (tiga emas). Menurut kepercayaan masyarakat lokal, kain tenun motif ini dapat membuat pemiliknya menjadi kaya raya. Lio merupakan salah satu daerah yang menonjol dalam hal pembuatan kain tenun ikat karena terbilang halus dan rumit. Jenis motif kain tenun ikat Lio mendapat pengaruh dari kain patola India yang dibawa oleh pedagang dari Portugis di abad ke-16 sebagai komoditi barter dengan rempah-rempah. Kain tenun ikat dengan motif patola bernilai tinggi sebab biasanya diperuntukkan bagi raja-raja, pejabat, dan tokoh adat atau pendiri kampung. Mengingat kain ini sangat istimewa dan berharga, bahkan ikut dikuburkan saat seorang raja, pejabat atau bangsawan tersebut meninggal dunia.
Motif yang menjadi khas kain Lio adalah motif ceplok serupa jelamprang pada batik lalu dihiasi dengan motif dahan dan daun. Ciri khas motif tenun ikat Lio yang lain adalah bentuk geometris, manusia, biawak, dan lainnya yang biasanya berukuran kecil dan disusun membentuk jalur-jalur berwarna merah atau biru di atas dasar kain yang berwarna gelap. Kain tenun ikat khas Manggarai dan Ngada cenderung menggunakan warna-warna terang seperti hijau, merah, putih, atau kuning (emas). Diperkirakan kecenderungan terhadap pemilihan warna cerah ini mendapat pengaruh dari tenun ikat Sumba dan Sumbawa.
Pada zaman dahulu, tenun ikat yang sejak lama telah digunakan sebagai pakaian sehari-hari masyarakat setempat sebagai simbol status, kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan bagi pemakainya. Belakangan simbol-simbol ini semakin memudar apalagi kini kain tenun ikat juga menjadi komoditi khas Flores yang diperdagangkan secara luas.
Kain tenun ikat sendiri biasa dipakai masyarakat berbagai suku di Flores sebagai pelengkap busana, selain sebagai selendang atau sarung. Anak perempuan Flores yang beranjak remaja tidak boleh telanjang lagi. Wanita Flores yang beranjak dewasa ditandai dengan datang bulan dan mereka diwajibkan mengenakan kain serta memanjangkan rambutnya agar dapat dikonde. Saat mereka hendak menikah maka haruslah mampu membuat kain ikatnya sendiri untuk keperluan pernikahan atau untuk diberikan kepada calon mempelai pria—sebagaimana aturan adat dahulu kala. Seiring perkembangan zaman, sepertinya budaya menenun sendiri kain ikat sudah mulai pudar. Remaja dan generasi muda yang mampu menenun kain ikat tradisional tak sebanyak dahulu. Hal ini tentu menjadi salah satu tantangan bagi keberlangsungan produksi kain tenun ikat.
Terlebih lagi perkembangan zaman yang serba modern dan dinamis mendorong manusia untuk menikmati karya dan produk instan dengan cara yang instan pula. Mesin-mesin dibuat untuk memberi kemudahan produksi dan peningkatan produktifitas (baca: kuantitas). Semua dilakukan serba cepat, praktis, dan mengandalkan mesin. Di satu sisi hal ini mengindikasikan kemajuan teknologi modern dalam hal (diantaranya) kemajuan dalam penemuan mesin, produktivitas, nilai ekonomis, pendapatan, kuantitas, dan lainnya. Tetapi di sisi lain, proses menghasilkan karya atau produk secara instan dalam jumlah banyak ini membuat nilai sebuah produk menjadi biasa saja dan mainstream.
Terlepas dari hal tersebut, untungnya belakangan ini pamor produk atau karya kerajinan tangan (handmade) berhasil mendapatkan gengsi tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat perkotaan; terutama mereka yang menghargai produk seni dan budaya tradisional. Kain tenun ikat tidak dibuat menggunakan mesin yang dapat menghasilkan banyak barang sekaligus dan seragam. Karenanya, saat Anda membeli selembar kain ikat, dapat saja itulah satu-satunya yang ada di dunia. Tak ada barang hasil karya tangan yang persis sama. Terlebih lagi, kain tenun ikat dan barang handmade lainnya dibuat dengan mengandalkan beberapa indera manusia yang tentunya tidak dimiliki sebuah mesin. Indera yang dibantu akal pikiran mampu menghasilkan potensi dan kreasi yang tak terbatas dalam menghasilkan sebuah karya bernilai seni tinggi.
Anda dapat menemukan tenunan indah khas Flores di Desa Doka. Kain ikat yang diproduksi masyarakat desa ini termasuk yang terbaik karena memiliki ciri khas tersendiri dengan harga juga beragam. Warga desa akan dengan senang hati mempertunjukkan cara pembuatannya kain tenun ikat menawan ini. Apabila Anda ingin datang berkelompok maka itu lebih baik dan sebelumnya hubungilah Bapak Cletus Lopez selaku pimpinan Sangar Doka Tawa Tana di nomor +62 81372290368. Desa Doka dapat Anda tempuh dengan kendaraan menyusuri Jalan utama dari Maumere menuju Waiara. Bertanyalah kepada penduduk sekitar arah jalan ke selatan menuju Desa Doka. Apabila Anda menjelajahi kawasan Maumere dengan kendaraan umum maka angkot berwarna oranye akan menandai perjalanan menuju Desa Doka.