Pasar Bolu: Masyarakat Toraja dalam Rutinitas Jual Beli

Anda bisa saja terkesan pada satu destinasi karena alasan yang sangat sederhana. Mungkin karena Matahari terbitnya, atau cara penduduknya menatap Anda. Alasan yang lebih mainstream, Anda dibuat rindu oleh rasa kulinernya yang tak tergantikan, atau kopi hangat ternikmat yang pernah ada. Akan tetapi,pernahkah terpikat oleh suatu tempat hanya karena cabai?

Mungkin belum, sampai Anda tak sengaja mencicip cabai katokkon asal Toraja yang mirip paprika namun hanya sebesar ibu jari. Di kota ini, cabai merah besar hanya berfungsi sebagai garnish, cabai rawit diakui pedas tapi tidak terlalu, sementara yang berani ambil resiko lebih memilih sambal katokkon. 

Pasar Bolu Toraja pagi itu sudah disesaki oleh penduduk lokal, terlihat juga beberapa wisatawan Barat paruh baya yang mengalungi kamera di lehernya. Pasar-pasar tradisional menjadi bagian hidup terpenting karena di sinilah suatu masyarakat mendaur hidupnya secara umum. Mereka berinteraksi, menjual hasil bumi untuk bertahan hidup, juga membelinya untuk bertahan hidup. Lewat pasar tradisional pula, Anda akan mengigat secara visual sumber daya alam yang dimiliki Toraja, termasuk salah satu cabai terpedas di Indonesia, yaitu katokkon.

Namun ketika sampai di sini, pusat perhatian Anda tidak akan konstan hanya pada katokkon. Ada bumbu-bumbu dapur dan sayur yang tidak biasa ditemui di pasar daerah lain, sebut saja pangi, kluwek Toraja, ataupun daun miana. Di sudut yang lain dijajarkan beragam macam beras seperti beras putih, beras meras merah dan beras hitam yang biasa digunakan untuk membuat ketan.

Uniknya, penjual di sini membawa timbangan barang tapi jarang digunakan sehingga tidak ada satuan yang pasti, khususnya untuk bumbu-bumbu dapur. Saat membeli cabai katokkon misalnya. Mereka mematok harga Rp20 ribu untuk hitungan satu katti, bukan per ons atau per kilo. Katti adalah wadah-wadah seperti gelas, katti biasanya merupakan kemasan sabun cuci yang sudah tidak terpakai lagi untuk digunakan pedagang sebagai satuan ukur.

Setelah melewati blok bumbu-bumbu dapur, teruslah berjalan menelusuri pasar sampai Anda menemukan blok khusus yang menjual daging dan ikan. Di Toraja, sapi tidak dikonsumsi, digantikan oleh daging kerbau ataupun daging babi. Sementara itu di bagian luar pasar, ada pedagang kopi, sirih, dan juga minuman arak khas Toraja yaitu ballo. Sama seperti bumbu-bumbu dapur, ballo tidak dijual per liter melainkan per gayung kecil, gayung besar dan yang paling besar adalah jerigen.

Berkelilinglah terus sampai Anda melihat ibu-ibu yang membawa seekor ayam lalu menjualnya langsung ke pedagang lain, atau, ada juga proses barter barang antara pengunjung dan pedagang di Pasar Bolu. Satu lagi, hal yang tak luput dari Pasar Bolu adalah pemandagan pria-pria yang membawa ayam jantan ke suatu tempat yang tak jauh dari pasar tradisional.

Ternyata pasar terbagi menjadi dua area: pasar yang menjual kebutuhan sehari-hari dan pasar hewan ternak. Pria-pria itu membawa ayamnya ke blok hewan ternak yang terletak 100-200 meter dari pasar sayur-mayur. Tidak hanya ayam jantan, babi dan kerbau seharga puluhan hingga ratusan juta yang kerap melambangkan prestise orang Toraja dijual di pasar ini. Sementara kerbau-kerbau dikumpulkan dan dijual di sebuah tanah lapang, calon pembeli berkeliling untuk mencari kerbau terbaik, dan sebagian lagi memanfaatkan ketinggian agar lebih leluasa memilih kerbau. Tak jarang juga terlihat pria-pria yang hanya sekadar singgah di sini untuk melihat-lihat kerbau.

Sistem pembayaran yang digunakan adalah uang tunai. Uang-uang itu disimpan oleh para pembeli di tas-tas seadanya, bahkan ada yang menyimpannya di kantong plastik hitam. Pembelipun tidak selalu berpakaian rapi, banyak yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek, atau bahkan sambil membawa sarung

Umumnya, harga kerbau bisa dinegosiasi dan pedagang seringkali membuka harga dengan kata-kata “50 kurang” atau “100 kurang” yang artinya “di bawah Rp50 juta” atau “di bawah Rp100 juta”. Kerbau paling mahal dan primadona di sini adalah kerbau-kerbau albino yang memiliki corak hitam paling variatif di sekujur tubuhnya. .

Begitu cintanya orang Toraja pada kerbau sehingga hewan-hewan ini diikat pada hidungnya, dan disimpulkan pada tali-tali lain yang diletakkan di atas kerbau. Di Pasar Bolu, kerbau-kerbau yang belum laku akan diikat seperti ini. Sepintas, ini terlihat menyakitkan  tapi beginilah cara orang Toraja merawat hewan kesayangan mereka. Jika kerbau diikat di leher,  kepala kerbau tidak terpantau dan hewan tersebut bisa saja mengunyah makanan sembarangan. Sebaliknya, jika diikat di hidung maka kerbau bisa menurut. Lagipula, hidung merupakan tulang rawan sehingga cara mengikat seperti ini tidak menyakitkan.

Di samping itu, pengalaman menarik lain adalah melihat kerbau-kerbau ini dimandikan pemiliknya. Kerbau dimandikan setiap minggu menggunakan sabun pencuci rambut yang juga kerap digunakan untuk manusia. 

Tertarik untuk ke sini? Dahulu, Pasar Bolu hanya digelar setiap Selasa dan Sabtu apabila menuruti tanggal adat Toraja. Namun untuk keperluan pariwisata, pasar ini diminta bupati untuk buka setiap hari. Ada tiga cara jika ingin tau kebudayaan suatu masyarakat, yaitu bertamulah ke rumahnya, pergilah ke upacara adatnya, dan singgahlah sejenak ke pasar tradisionalnya. Di Toraja, wisatawan dianggap tamu terhormat dan keberadaan mereka membawa berkah sehingga ketika melakukan tiga hal di atas, Anda selalu diterima dengan baik. Dengan demikian, Anda juga akan dibuat nyaman saat mengunjungi pasar tradisional ini.