Desa Penglipuran: Penglipur Hati Raja

Bayung Gede di Kintamani adalah sebuah desa yang cukup tua untuk dikenang dan bukan tidak ada makna atau kisah sejarahnya. Dalam bahasa Bali kuno, bayung berasal dari kata ‘bayu’ yaitu tenaga dan kata ‘gede’ yang berarti besar. Dahulu, karena Raja Bangli menyadari begitu besar kebutuhan tenaga rakyat untuk mengurus kerajaan dan wilayahnya maka ia pun tergugah memilih warga Bayung Gede dari Kintamani. Warga terpilih yang memiliki tenaga besar dan kuat pun kemudian disediakan sebidang lahan tinggal sementara dan hidup dalam pengabdian kepada raja hingga terus berkembang jumlahnya.

Setelah sekian lama, warga asal Bayung Gede yang tinggal di Kubu memohon izin kepada Raja Bangli untuk membangun sebuah desa tersendiri agar mereka tidak perlu pulang jauh ke Bayung Gede, desa asal dan kampung halaman leluhur mereka. Permohonan itu pun terkabul dan inilah cikal bakal Desa Penglipuran yang terkenal itu dimana awalnya bernama Kubu Bayung. Nama Kubu Bayung sebagai sebuah desa baru di Bangli bermakna orang Bayung yang hidup di daerah Kubu.

Nama penglipuran menyeruak dari awal kisah mobilisasi warga Bayung Gede ke daerah Kubu. Konon, Raja Bangli begitu bahagia dan hatinya terhibur setelah segala kegundahannya sirna karena kehadiran warga pilihan dari Bayung Gede. Berbagai urusan kerajaan terselesaikan satu demi satu. Warga Bayung Gede pun merasa tersanjung dan bersyukur diberikan kepercayaan serta hadiah sebidang lahan di Kubu. Untuk mengingat kampung halamannya, mereka menamakan tempat baru di Kubu Bayung yang semakin berkembang itu sebagai ‘Pengeling Pura’ yang kemudian penyebutannya dipendekkan menjadi ‘Penglipuran’.

Pengeling berasal dari kata ‘eling’ atau ingat, pengeling artinya pengingat. Sedangkan kata ‘pura’ dikaitkan dengan pura di Bayung Gede, Kintamani yang sejatinya menjadi tempat beribadah, tempat suci bagi leluhur, serta tempat untuk kembali. Mereka ingin desa barunya dibina sebagai sebuah cerminan dari kampung leluhur mereka, sebuah refleksi kehidupan yang baru dengan mengakar pada tatanan yang diawali di Bayung Gede. 

Apapun yang diterapkan di Penglipuran adalah segala sesuatu yang dijalankan dan bersemi di Bayung Gede. Selain benihnya berawal dari guratan sejarah kelahiran sebuah desa, Penglipuran pun dibubuhkan kepada nilai sentimentil Raja Bangli yang perasaannya berbuah bahagia karena kehadiran warganya di desa baru, Kubu Bayung. Pendeknya, warga Kubu Bayung adalah penglipur hati raja. Dari dua perpaduan sisi historis inilah, nama Penglipuran pun hadir.

Bayung Gede, Tanah Leluhur Penglipuran

Melalui jalan pedesaan dari Penglipuran yang dihiasi warna hijau rindangnya hutan bambu yang luas, menuju Desa Bayung Gede merupakan sebuah pengalaman perjalanan yang mengasyikan. Kehidupan pedesaan di Kabupaten Bangli tampak dalam keseharian masyarakatnya yang agraris. Sebagai bagian yang sulit dilepaskan dari sejarah Penglipuran, Bayung Gede menjadi sebuah nama yang patut diketahui keberadaannya. 

Letaknya Bayung Gede sekira 30 kilometer ke arah Kintamani. Desa yang menyandang nama desa tradisional ini sejatinya seperti Penglipuran. Walaupun keaslian arsitektur di Penglipuran lebih mencolok namun Desa Bayung Gede tetap mempertahankan beberapa nilai adat yang hampir serupa dengan cerminnya di Penglipuran.

Jalur menuju Kintamani menaik. Di tepinya ditumbuhi berbagai macam pohon dan utamanya adalah pohon jeruk. Saat memasuki jalan menuju Bayung Gede, jalurnya akan terlepas dari arah menuju Kintamani yang lurus dimana kembali lagi hutan bambu mendominasi pandangan mata. Tidak heran berbagai komponen rumah di sini terpasang dari bambu karena alam telah menyediakan bambu sebagai kekayaan.

Di desa ini keunikan yang tidak dimiliki tempat lain di sekitarnya yakni adanya Setra Ari-ari. Itu adalah lahan khusus untuk menguburkan ari-ari dari bayi yang terlahir. Walau disebut sebagai kuburan, ari-ari tidak ditanam di dalam tanah namun disimpan dalam buah kelapa yang digantungkan di dahan pohon di kawasan pekuburan yang terletak di barat daya desa. Hal ini dilakukan sejak dahulu sebagai bagian dari tradisi masyarakat Bayung Gede. Bahkan, Penglipuran pun tak melakukan tradisi ini.