Kampung Al-Munawar: Menuai Refleksi Sejarah Pedagang Arab di Palembang

Satu kali saja berlayar mengarungi Sungai Musi, segudang refleksi sudah bisa Anda tuai dari sini. Rumah-rumah rakit yang dibangun di bantaran sungai menceritakan kepada Anda secara tersirat bahwa Palembang belum pernah memecah konsistensinya meski zaman terus berkembang secara horizontal. Palembang tetap sebagai kota sibuk dalam fisik yang berorientasi pada kultur berbagai bangsa. Keragamannya dipelihara dalam interaksi sosial dan warisan budaya yang heterogen. Siapapun yang singgah di sini akan percaya bahwa bangsa-bangsa pendatang dahulu pernah sedemikian besar jatuh cinta pada Palembang hingga mereka menanam budaya berabad lamanya dengan tanpa melepaskan identitasnya.

Sisa-sisa warisan dengan nilai yang tak terhingga tersebar di daerah Ulu, dibungkus arsitektur pola pemukiman dan bentuk rumah unik berbentuk limas terbuat dari kayu onglen dengan daya tahan sangat baik. Akan tetapi, yang bermukim di sini bukanlah orang-orang Palembang asli melainkan mereka keturunan Arab dan Tionghoa yang menyimpan histori tentang masa lalu yang panjang, sekaligus dinamika masalah lingkungan dan pembangunan yang pernah mereka hadapi.

Saat menginjakkan kaki di kawasan 13 Ulu Kampung Al-Munawar sekilas seperti berada di Timur Tengah tempo dulu. Di sekelilingnya setia berdiri bangunan lama didominasi rumah panggung yang terbuat dari papan. Konon rumah orang-orang Arab tersebut memang didesain dengan satu karakter, dikelilingi rumah anak-anak dan menantunya sebagai bentuk kuatnya ikatan kekerabatan. Rumah mereka juga wajib dilengkapi langgar atau mushola untuk kegiatan ibadah. Untuk memperlihatkan strata sosial, dibuat juga arsitektur rumah yang berundak.

Kampung Al-Munawar sejak awal tumbuh dihuni para pedagang Arab kaya. Hal itu dapat dilihat dari bangunan rumah yang menunjukan status sosial berkecukupan dan orientasi bangunan ke arah Sungai Musi. Rumah-rumah tersebut dominan dimiliki oleh Habib Hasan Abdurachman bin Achmad Al-Munawar yang kemudian diwariskan kepada keturunannya. Jenis rumah terdiri dari rumah batu, rumah kaca, rumah kembar laut, rumah tinggi, rumah kapiten Arab, rumah indis, rumah kembar darat dan rumah limas.

Sejarah kedatangan mereka dimulai dari kedekatan orang Arab Hadramaut dengan sultan. Karena dianggap sebagai mitra dagang maka mereka mendapatkan perlakuan khusus. Itulah sebabnya, makin lama jumlah mereka semakin membengkak memenuhi wilayah Ulu dan Ilir Sungai Musi. Selain di kawasan Kampung Arab Al-Munawar 13 Ulu, mereka juga bermukim di Assegaf 16 Ulu dan Al-Mesawa 14 Ulu. Markas besar lainnya ditemukan di 8 Ulir, 7 Ulu, 15 Ulu, 8 Ilir dan 10 Ilir. Mereka hidup sebagai elite Arab di Palembang yang menelusuri garis keturunan Nabi Huhammad melalui cucunya, Husain. Kedudukan ini masih terus diakui sehingga mereka dipandang tinggi dalam masyarakat Palembang, juga sebagai orang yang suci.

Aturan nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan agama masih dipegang secara kuat sehingga Kampung Al-Munawar kerap didatangi mereka yang ingin berwisata budaya dan religi. Wajah-wajah baru mungkin datang hampir setiap hari sehingga warga di sini sudah terbiasa dengan hadirnya wisatawan. Anda bebas memotret bangunan-bangunan, bahkan masuk ke rumah ibadah dan sekolah namun tetap sopan. Sapalah warga setempat, apabila ingin memasuki bangunan-bangunan maka mintalah izin terlebih dahulu.

Apabila Anda datang bersama rombongan dan diorganisir oleh agen perjalanan, Anda bisa menikmati beragam atraksi dari warga Kampung Arab ini, salah satunya pertunjukan gambus. Tidak sulit juga mencari hotel berbintang di Palembang, bahkan banyak sekali pilihan. Jaraknya tidak jauh dari kawasan Sungai Musi dengan estimasi waktu sekira 15-30 menit perjalanan.

Penyebrangan ke Kampung Arab dilakukan melalui Sungai Musi menggunakan perahu-perahu yang banyak Anda temukan di dermaga. Harga sewanya beragam tergantung destinasi mana saja yang Anda dapat kunjungi dan perahu jenis apa yang Anda pilih. Apabila ingin perjalanan yang lebih lambat sambil menikmati pemandangan Sungai Musi, disarankan menaiki perahu ketek. Perahu speedboat diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan waktu tempuh lebih cepat. Harga sewa perahu ketek dimulai dari Rp150 ribu, sementara speedboat dimulai Rp300.000. Satu perahu bisa memuat hingga 10 orang.

Biasanya, wisatawan memilih berkunjung ke Pulau Kemaro terlebih dahulu, setelah itu melihat kehidupan di Kampung Arab dan Kampung Kapitan.

Sepulangnya dari Kampung Arab dan usai perahu ditambatkan di dermaga, ada banyak pilihan makanan jalan di kawasan pedestrian Sungai Musi. Pasar 16 Ilir juga tidak terletak jauh dari situ, Anda bisa menemukan aneka makanan khas Palembang dengan harga yang murah di pasar tersebut.

Sudah pasti yang pertama diburu adalah pekmpek. Harganya sangat murah mulai dari Rp1.000 untuk sebuah pekmpek. Warung-warung makan lainnya menyajikan makanan khas lain seperti mie celor, tekwan, es kacang merah dan masih banyak lagi.

Petualangan kuliner Anda juga bisa dijajal dengan menyantap makan siang di atas perahu. Ada banyak warung makan yang didirikan di atas perahu-perahu yang menambat di dermaga. Perahu tidak berlayar, tapi cukup memberikan sensasi unik karena arus sungai akan membuat perahu ini bergoyang-goyang sambil memberikan pemandangan Sungai Musi dari jarak dekat.

Di warung terapung ini, hidangan yang ditawarkan tidak jauh dari pekmpek dan tekwan. Suasana makan yang sederhana, tapi rasa hidangannya tak kalah dengan yang dimiliki oleh rumah makan mewah di Palembang. Warung-warung ini umumnya buka hingga malam hari, menemani wisatawan yang ingin menikmati nyala lampu-lampu cantik di Jembatan Ampera pada saat langit berubah menjadi gelap.