Rumah Betang: Warisan Leluhur Suku Dayak

Seekor biawak monitor berdarah dingin terbirit-birit meloncat ke Sungai Kapuas yang airnya coklat kemerahan. Suara perahu motor telah mengejutkan waktu santainya berjemur di tepi rumpun hutan kecil. Perjalan menyusuri Sungai Kapuas dihentikan kepulan asap membumbung, menembus genting sebuah rumah khas Suku Dayak, Rumah Betang. Perahu semakin dekat dan rumah yang sudah nampak tua itu bagai dapur umum berbentuk gerbong kereta api.

Rupanya sudah menjadi kebiasaan bagi penghuni rumah betang untuk memasak makanan secara bersama-sama. Di satu rumah, jumlah kepala keluarga dapat mencapai lima puluh. Artinya paling tidak ada lima puluh kamar dalam satu rumah dan bisa saja masing-masing memiliki dapur. Gaya hidup komunal ini sudah berlangsung ratusan tahun, setua rumah yang mereka huni. Kebiasaan ini kokoh dipertahankan, sekokoh kayu besi yang menjadi tiang-tiang penyangga rumah betang.

Suku Dayak hidup sedianya di pedalaman hutan pulau Kalimantan, di tepian sungai-sungainya yang besar. Cara hidupnya sederhana dan erat dengan kearifan lokal yang sangat alami. Kesaktiannya bukan sembarang dongeng, karena mereka dikenal sebagai pemburu yang mahir. Namun sekarang, walau tetap menjaga keahliannya berburu, gaya hidup itu sudah berubah menjadi gaya hidup agraris, beternak, dan membuat kain tenun nan cantik. 

“…pergi ke hutan, melestarikan gejolak adrenalin, berburu binatang liar.”

Hutan dan sungai adalah dua tempat yang dekat dalam kehidupan mereka. Sudah biasa mereka memanfaatkan air yang melimpah di sungai hutan tropis Kalimantan. Tak jarang mereka menangkap ikan untuk dimakan bersama. Beberapa di antara mereka masih membiasakan diri pergi ke hutan, melestarikan gejolak adrenalin, berburu binatang liar.

Menaiki tangga yang disebut tangka, penghubung tanah dengan lantai rumah betang, sudah biasa bagi penghuninya, tapi hal yang merontokkan nyali bagi pengunjung pertama ke rumah betang. Lebarnya tak jauh lebih dari lebar dua telapak kaki disandingkan. Walau dikikis agar menjadi pijakan yang tidak licin dan nyaman, kelalaian bisa berarti kunjungan ke rumah dukun atau tukang obat. Namun biasanya sepasang kayu pegangan tangan disediakan agar siapapun dengan kehati-hatian dapat melangkah naik.

“..berpetualanglah ke pedalaman Kalimantan dan jangan melulu  merasakan hal nyaman serba pelayanan.”

Walau kebiasaan hidup bersama ini nampak sudah nyaman, pilihan hidup dalam rumah-rumah kecil yang penuh privasi semakin disukai dan mengancam keberadaan peninggalan nenek moyang Suku Dayak di Kalimantan ini. Jarang menemukan rumah betang saat ini. Mendapatkan rumah betang yang masih berdenyut dengan nafas dan pola kebiasaan masyarakatnya sungguh sebuah penemuan berharga.

“Mendapatkan rumah betang yang berdenyut dengan nafas dan pola kebiasaan masyarakatnya sungguh sebuah penemuan berharga.”

Di Putussibau, misalnya, terdapat 54 ruang keluarga yang disebut bilik, berjajar rukun di bawah satu atap dekat Sungai Kapuas. Di tengahnya, ruang besar digunakan untuk berkumpul, melakukan upacara adat, dan kegiatan bersama lainnya, serta teras di luar tempat duduk-duduk. Penting bagi masyarakat untuk mempertahankan keberadaan ruang ini dimana interaksi sosial secara formal dan informal tetap berlangsung.

Di Desa Saham, sekitar 158 kilometer dari Pontianak, terdapat rumah betang dengan panjang 186 meter dan lebar 6 meter, di dalamnya terdapat 269 jiwa. Tiap penghuni memiliki peran masing-masing, dan terpenting ialah keamanan rumah dan peran dalam upacara adat. Jadi, kebersamaan tetap dijaga, walau pembagian kelas pun nampak diterapkan antara orang penting dan orang awam, dimana orang awan ditempatkan di ruang dekat pintu masuk, sementara orang penting di bagian tengah rumah betang. 

Rumah betang yang masih asli tersebar di beberapa titik di Kalimantan Barat dan provinsi lain. Di Kalimantan Barat pengunjung dapat melihatnya di Kecamatan Sunge Uluk Apalin di Melapi. Dapat juga pengunjung pergi ke Sungai Utik dan di Bukung, daerah Kapuas Hulu. Di sinilah warisan arsitektur nenek moyang selain candi dan kompleks kerajaan dapat ditemukan.

Bila tempat-tempat tersebut terlalu jauh bagi anda, datanglah ke replika rumah betang di kota Pontianak, di Jalan M.T. Haryono. Bayangkan rumah tersebut dipenuhi lima puluh kepala keluarga dan kekokohan rumah tersebut yang menjulang tinggi, lima meter di atas tanah. Lukisan di bawah lantai yang penuh warna kuning dan merah khas Suku Dayak sungguh berharga untuk diabadikan. Pengalaman tentunya tak terbandingkan bila Anda bisa datang di rumah betang yang asli. Berkenalan dengan beberapa penghuninya, menempatkan Anda sebagai petualang kebudayaan yang luar biasa ini.

”..sesekali rasakan pengalaman lain dengan belajar, menyatu bersama suku adat, lalu menyerap kearifan lokal budaya Nusantara.”