Pak Cip adalah Cipto Aji Gunawan
Bila ada surga bawah laut yang terakhir di dunia, maka itu mestilah Raja Ampat. Di sini terdapat tempat-tempat penyelaman yang paling beragam di mata seorang underwater photographer, videographer, dan juga merangkap sebagai Marine Eco Tourism Development Consultant dengan kaliber internasional, Cipto Aji Gunawan, atau akrab dipanggil Pak Cip. Kesehariannya, saat berada di sebuah kawasan penyelaman, ia lebih nyaman mengenakan celana pendek dan kaos yang bertema penyelaman. Dari wajahnya jelas terlihat pengalaman, kebijaksanaan, dan keramahan yang timbul dari ratusan tempat yang sudah dijelajahinya. Dua dekade sudah dilaluinya bersama alat-alat selam. Lebih dari 5.000 penyelaman sudah dilakukannya dan semua berkontribusi pada dunia penyelaman. Maka tak heran bila ia akan segera dianugerahi Platinum Pro 5000 oleh lembaga dunia, Yayasan Platinum Pro, bagi penyelam terkemuka yang memiliki dedikasi luhung bagi dunia peyelaman.
Platinum Pro 5000 tidak dibeli. Penghargaan ini didapatkan karena sejarah penyelaman seseorang telah mencapai minimal 5.000 kali dalam hidupnya, untuk kemaslahatan dunia bawah air. Bisa dibayangkan, menyelam 100 kali dalam 50 tahun, atau menyelam 500 kali dalam 10 tahun. Bukankah itu dedikasi? Bagi Pak Cip, rata-rata penyelaman sudah dilakukan sekitar 250 kali dalam setahun selama 20 tahun dedikasinya. Luar biasa! Indonesia bangga memiliki warga sepertinya, dan ia jatuh cinta kepada Raja Ampat. Bak seekor ikan dengan sejuta kemampuan dan pengetahuan, ia menyelami bawah airnya saat sehat ataupun sakit.
Raja Ampat harus dijaga seperti apa adanya, kata Pak Cip. Ia menyayangkan bahwa pelayanan bagi wisatawan di taman firdaus bawah air ini masih harus ditingkatkan. Mau tidak mau, sumber daya manusia harus menjadi yang utama, karena manusianya itu sendiri yang akan menjadi pagar pelindung bagi terjaganya ekosistem, termasuk deburan ekonomi yang harus terus berlangsung bagi marine tourism di Raja Ampat.
Sebagai instruktur dari para instruktur penyelam, ia mengawali pengalamannya di Jakarta dan bermigrasi ke Bali, mengelola dive centersendiri. Setelah 12 tahun menjadi instructor, ia beralih profesi menjadi konsultan yang ia hayati dan nikmati untuk pengaktualisasian diri dalam hidupnya. Dulunya ia selalu memperjuangkan anak didiknya yang kurang dapat diakomodir oleh organisasi penyelaman, dan terus melatih dengan tingkat kelulusan tertinggi. Karena terpanggil untuk membantu lebih banyak, ia akhirnya menyelami pembinaan masyarakat nelayan, memberi advis kepada pemerintah, dan hidup dengan nelayan di desa wisata seperti masyarakat biasa.
Baginya, desa wisata mungkin akan menjadi penjawab bagi basis ekowisata yang berkelanjutan di Raja Ampat. Bila ini terjadi, tidak mustahil dalam waktu 10 tahun ke depan, ia dan wisatawan yang ramah lingkungan lainnya akan masih menikmati kekayaan Raja Ampat. Desa wisata disimpanya dalam keranjang land-base pelayanan wisata, dan akan menyerap banyak kegiatan ekonomi. Liveaboard, akomodasi terapung di perahu pinisi yang bukan land-base, bisa dan akan melakukan hal yang sama, tapi tidak sebanyak serapan ekomomi oleh land-base desa wisata yang ia maksud. Satu desa wisata yang sukses, ia yakini akan segera memengaruhi yang lainnya untuk terus menjadi riak-riak bahkan gelombang perekonomian bagi masyarakat.
Lahir di Pekalongan tahun 1969, ia mensukuri pengalaman ‘bersekolah S2’ nya di Desa Les, Bali. Sebuah desa nelayan yang mengajarinya banyak hal dan merubah cara pikirnya. Dosennya tidak seperti mahasiswa lain yang berpredikat professor. Guru besarnya ialah Eka, Gombal, Weleh, atau Nengah Arsana yang adalah nelayan. Kesemuanya adalah nelayan perusak terumbu yang sekarang ia sulap menjadi laskar terumbu karang, yang cinta akan lingkungan bawah laut dan di atasnya. Mereka menjadi ‘penyelamat’alam tanpa lagi menggunakan potassium atau cyanide. Kesuksekan itu mengundang kagum I Gde Ardika, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata untuk turut menyelam dan tinggal diDesa Les, Tejakula, Bali Utara,sebagai desa wisata yang patut dikunjungi, yang terletak di antara Tulambendan Lovina, Bali. Ia awali program pembinaan bernama Adopt The Coral.
Perlu hampir semenit ia memikirkan tempat favoritnya di Raja Ampat. Pastilah sukar karena terlalu banyak keunikan satu titik yang tidak dapat disandingkan dengan titik penyelaman lainnya di sana. Ia mencontohkan, ‘mana bisa kita bandingkan kumpulan barracuda diCape Kridenga ikan hiu berjalan di Saonek Bonde. Atau Ponto dengan kuda laut kerdil, pigmi sea horse yang nampak oleh mata yang jeli saja’. Ingin ketemu Wobegong atau hiu berjalan itu setengah mati di tempat lain. Di Raja Ampat, pasti ketemu’. Ia terkagum-kagum dengan lansekap di Raja Ampat tempat bersemayam Burung Cendrawasihyang mendekap mesra kecantikan bawah lautnya, terutama di the Passage, dekat Teluk Kabui, Raja Ampat.
Pak Cip dan secuil karyanya dapat dilihat di blognya: http://ciptoag.multiply.com/